Berita Geothermal — Potensi besar energi panas bumi di Nusa Tenggara Timur (NTT) kini menghadapi tantangan. Di satu sisi, wilayah ini menyimpan kekayaan energi bersih yang dapat menggantikan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun di sisi lain, pengembangannya menghadapi tantangan sosial yang mencuat ke permukaan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiyani Dewi, menyoroti persoalan tersebut dalam peluncuran Indonesia Geothermal Congress and Exhibition (IGGCE) 2025 di Jakarta, Senin (14/4).
Ia mengungkapkan bahwa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di NTT, khususnya di Flores dan Mataloko, masih menghadapi resistensi masyarakat, terutama karena penyebaran isu negatif yang lebih masif dibandingkan informasi tentang manfaatnya.
“Isu-isu sosial ini harus kita netralisasi dengan isu positif dan tentu saja edukasi-edukasi kepada masyarakat melalui Pemda. Ini bisa didorong oleh Asosiasi Panas Bumi dan semua pihak yang terlibat,” ujar Eniya.
Komunikasi dan Solusi
Eniya menyampaikan bahwa pemerintah tidak tinggal diam. Selama tiga pekan terakhir, komunikasi intens dilakukan dengan Pemerintah Daerah, Keuskupan Ende, serta perusahaan pemegang izin panas bumi seperti PT Sokoria Geothermal Indonesia, PT PLN, dan PT Daya Mas Geopatra Energi.
“Respon Pemda sangat baik. Mudah-mudahan permasalahannya segera mencair,” kata Eniya optimistis.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa dirinya akan mendampingi Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, dalam kunjungan langsung ke NTT. Tujuannya bukan hanya untuk meninjau lokasi, tetapi juga menjalin dialog dengan berbagai pihak agar jalan keluar segera ditemukan.
Kementerian ESDM pun menunjukkan komitmen penuh. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, kata Eniya, telah langsung berkomunikasi dengan Gubernur NTT yang juga merupakan sahabat lamanya. Kedekatan ini diharapkan bisa mempercepat proses penyelesaian masalah di lapangan.
Flores sebagai “Geothermal Island”
Flores merupakan kawasan dengan potensi panas bumi terbesar di Indonesia. Bahkan Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi pada tanggal 19 Juni 2017 melalui Surat Keputusan Menteri ESDM. Surat Keputusan ini mengesahkan penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi untuk mengoptimalkan penggunaan energi panas bumi di pulau tersebut.
Eniya menyebut penetapan ini dilakukan karena begitu besarnya cadangan energi bersih di sana.
“Potensinya luar biasa. Kalau bicara soal diesel, subsidi negara hanya untuk Flores saja bisa mencapai Rp1 triliun per tahun,” tegasnya.
Dengan mengganti pembangkit berbasis BBM ke panas bumi, bukan hanya lingkungan yang diuntungkan, tapi juga penghematan anggaran negara dalam jumlah signifikan.
Tantangan di Mataloko dan Harapan Baru
Selain Flores, tantangan juga muncul di Mataloko, di mana terdapat kolam lumpur dari manifestasi panas bumi yang belum tertutup. Biaya penutupan diperkirakan mencapai USD 5 juta. Jika tidak segera ditangani, isu tersebut berpotensi memperburuk persepsi masyarakat.
“Kita masih berpikir solusinya. Nantinya akan ada FGD (Focus Group Discussion) sebelum kami berangkat ke NTT bersama Pak Wamen. Kami juga berharap dukungan dari semua pihak,” jelas Eniya.
Menata Masa Depan Energi NTT
Pemerintah, lanjut Eniya, berkomitmen untuk terus mengedukasi masyarakat, meredam hoaks, dan menyampaikan manfaat jangka panjang dari panas bumi sebagai sumber energi yang berkelanjutan. Ia berharap, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, asosiasi, dan masyarakat bisa menciptakan ekosistem energi yang harmonis dan produktif.
“Pemerintah ingin hadir dengan solusi, bukan hanya teknologi, tapi juga pendekatan sosial dan komunikasi yang membangun kepercayaan,” tutupnya.
Dengan gerak cepat ini, harapannya panas bumi bukan lagi isu yang memecah, tapi solusi yang menyatukan dan mengangkat kualitas hidup masyarakat NTT.***
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini