Berita Geothermal — PT PLN (Persero) menegaskan pentingnya pemanfaatan energi panas bumi (geothermal) di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai langkah strategis menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Selain itu, pemanfaatan geothermal dinilai krusial untuk menekan tingginya subsidi pemerintah akibat biaya produksi listrik yang masih tinggi di wilayah tersebut.
Pernyataan ini disampaikan General Manager PLN Unit Induk Wilayah (UIW) NTT, F. Eko Sulityono, dalam pertemuan antara PLN, mitra pengembang geothermal, dan Pemerintah Provinsi NTT. Pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Penjabat Gubernur NTT, Melki Laka Lena, didampingi Wakil Gubernur Johni Asadoma.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut jajaran PLN, di antaranya General Manager PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Nusa Tenggara, Yasir; Executive Vice President Panas Bumi PLN Pusat, John Y.S. Rembet; serta mitra pengembang dari PT Daya Mas Nage Geothermal (DMNG) dan PT Sokoria Geothermal Indonesia (SGI).
Sejumlah kepala daerah juga ikut hadir, yakni Bupati Ngada Raymundus Bena, Bupati Manggarai Herybertus G.L. Nabit, Bupati Ende Yosef Benediktus Badeoda, dan Bupati Lembata Petrus Kanisius Tuaq.
Dalam paparannya, Eko mengungkapkan bahwa biaya pokok produksi listrik di NTT saat ini mencapai Rp2.600 per kWh, sementara tarif listrik rumah tangga hanya sekitar Rp1.400 per kWh. Selisih harga tersebut menjadi beban subsidi pemerintah yang cukup besar.
Oleh karena itu, lanjutnya, pengembangan energi panas bumi diharapkan dapat menurunkan beban subsidi dan mengalihkan anggaran tersebut ke sektor pembangunan lain yang lebih mendesak dan berdampak langsung bagi masyarakat.
“Dengan memanfaatkan potensi geothermal, kita bisa mengalihkan subsidi ke sektor lain yang lebih penting,” jelas Eko.
Tantangan sosial
Namun, pengembangan geothermal di NTT tidak lepas dari tantangan sosial. Dalam pertemuan itu, Gubernur NTT Melki Laka Lena secara khusus menyinggung adanya penolakan dari enam Uskup di Flores terhadap proyek pemanfaatan panas bumi. Ia mengajak semua pihak untuk berdialog terbuka dan mencari solusi bersama.
“Daripada terus berhadap-hadapan, lebih baik kita duduk bersama, lihat apa yang salah. Kalau bisa diperbaiki, kita perbaiki,” tegas Melki.
Gubernur juga menegaskan bahwa pengembangan energi baru terbarukan tetap menjadi prioritas Pemerintah Provinsi NTT. Namun pelaksanaannya harus dilakukan dengan tetap menghormati nilai-nilai budaya dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat.
Sebagai tindak lanjut, pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Tim Penanganan Isu Teknis dan Sosial proyek panas bumi. Tim ini akan mulai bekerja usai Hari Raya Paskah 2025 dan terdiri dari unsur pemerintah, LSM, Keuskupan, serta para pengembang. Tugas tim adalah melakukan verifikasi langsung di lapangan dan menyusun rekomendasi atas berbagai persoalan yang muncul.
General Manager PLN UIP Nusa Tenggara, Yasir, menyatakan bahwa PLN siap menjadi koordinator utama dalam proses ini.
“PLN siap menjalankan mandat untuk memastikan komunikasi dan koordinasi berjalan baik. Kami terbuka menerima masukan dan menyusun langkah perbaikan agar proyek benar-benar membawa manfaat dan diterima masyarakat,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Executive Vice President Panas Bumi PLN, John Y.S. Rembet, yang mengakui adanya kesenjangan komunikasi dalam proses pengembangan proyek geothermal. Sesuai arahan Gubernur, pihaknya siap membuka ruang dialog yang konstruktif.
“Kami sangat berharap, dengan fasilitasi dari Pemerintah Provinsi dan terbentuknya tim ini, kita bisa menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan dan membangun kepercayaan bersama,” ungkap John.
Dengan semangat kolaborasi dan keterbukaan, seluruh pihak berharap pengembangan energi panas bumi di NTT dapat berlangsung lebih transparan, inklusif, serta benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat lokal.***
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini