Berita Geothermal — Pemerintah memastikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berkapasitas 40 megawatt (MW) di Provinsi Maluku telah resmi masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2025–2034.
Pembangkit panas bumi ini akan dibangun di salah satu Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang berada di Kabupaten Maluku Tengah.
Hal tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam keterangan pers di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (11/4). Menurutnya, pembangkit panas bumi ini tengah memasuki tahap lelang dan akan menjadi bagian penting dari strategi nasional transisi energi.
Ia menambahkan, pembangunan PLTP ini merupakan langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan wilayah timur Indonesia terhadap pembangkit listrik berbasis energi fosil, seperti diesel dan batu bara.
Lebih lanjut, Bahlil menegaskan peran penting PLN sebagai BUMN dalam menjalankan mandat negara untuk memperluas akses energi bersih panas bumi, sekaligus mendukung target peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) secara nasional.
“Saya sudah masukkan dalam RUPTL, supaya apa? Tidak lagi tergantung pada solar, tidak lagi tergantung pada batubara. Begitu ada mesin-mesin pembangkit tua, langsung diganti ke Energi Baru Terbarukan,” jelasnya.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Maluku cukup besar dan layak dikembangkan. Saat ini, dua proyek PLTP tengah dirancang di provinsi tersebut, yakni PLTP Wapsalit 20 MW di Pulau Buru yang masih dalam tahap eksplorasi dengan target operasi komersial (COD) pada 2028, serta PLTP Tulehu 2×10 MW di Pulau Ambon yang ditargetkan mulai beroperasi pada 2031.
Kondisi kelistrikan di Maluku saat ini masih didominasi oleh pembangkit berbahan bakar fosil. Berdasarkan data tahun 2024, kapasitas total pembangkit listrik di wilayah ini mencapai 409 MW. Dari jumlah tersebut, 99% atau sekitar 406 MW berasal dari pembangkit diesel (PLTD) dan kombinasi pembangkit berbasis gas dan uap.
Pembangkit diesel sendiri menyumbang 249 MW, atau sekitar 61% dari total kapasitas terpasang. Sementara pembangkit gas dan uap menyumbang 157 MW atau sekitar 38%. Ketergantungan terhadap energi fosil ini menjadikan biaya pokok produksi (BPP) listrik cukup tinggi.
General Manager PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Nusa Tenggara Timur (NTT), F. Eko Sulityono, mengungkapkan bahwa BPP listrik di NTT mencapai sekitar Rp2.600 per kWh, sedangkan tarif listrik rumah tangga hanya sekitar Rp1.400 per kWh. Selisih tersebut harus ditanggung negara melalui subsidi yang besar.
“Oleh karena itu, pengembangan energi panas bumi diharapkan bisa menurunkan beban subsidi, dan dana subsidi itu bisa dialihkan ke sektor pembangunan lain yang lebih berdampak langsung bagi masyarakat,” tutur Eko.
Dengan langkah strategis ini, diharapkan Maluku dapat segera beralih ke sistem kelistrikan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, sejalan dengan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon dan penguatan ketahanan energi nasional.***
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini