Bandung, Berita Geothermal – Di kaki Gunung Kamojang, Kabupaten Bandung, aroma kopi menyeruak dari sebuah kedai kecil bernama Ecovil. Asap tipis menari di udara, membawa wangi khas kopi tanpa gula yang disajikan dalam gelas kaca bening.
Namun, kopi itu bukan sembarang kopi. Ia lahir dari uap panas bumi yang keluar dari perut bumi Kamojang dan menjadi yang pertama di dunia dengan cara pengeringan unik tersebut.
Kopi itu bernama Canaya, hasil kreasi Moh Ramdan Reza, atau akrab disapa Deden, seorang pemuda berusia 34 tahun yang menaruh seluruh dedikasinya pada dunia kopi.
“Nama Canaya itu dari bahasa Sunda. Can artinya belum, aya artinya ada. Jadi Canaya berarti belum ada. Karena memang belum ada kopi yang diolah dengan panas bumi,” ujar Deden, ditemui di kedainya, Rabu (24/9/2025).
Mengolah Kopi dengan Uap Panas Bumi
Kopi Canaya diolah dengan metode Geothermal Coffee Process (GCP), yakni sistem pengeringan biji kopi menggunakan uap panas buangan dari steam trap pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) milik PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang.
Metode ini lahir dari program tanggung jawab sosial (CSR) PGE yang dimulai sejak 2018, dan menjadi inovasi pertama di dunia.
Dengan metode ini, proses pengeringan kopi yang biasanya memakan waktu hingga sebulan dapat dipersingkat menjadi hanya 8 hingga 10 hari. Selain efisien, suhu pengeringan pun lebih stabil sehingga menjaga konsistensi cita rasa kopi.
“Kalau pakai matahari, panasnya tidak menentu. Dengan panas bumi, prosesnya bisa dikontrol dan hasilnya lebih konsisten,” kata Deden.
Menembus Pasar Jerman dan Jepang
Keunikan proses pengolahan kopi Canaya membuatnya menarik perhatian dunia. Setelah diperkenalkan di ajang World of Coffee (WoC) Jakarta 2025, pameran kopi tingkat dunia yang pertama kali digelar di Indonesia, sejumlah pembeli dari luar negeri langsung melirik.
Pebisnis asal Jerman memesan 10 ton kopi arabika hasil pengeringan geotermal, sementara Jepang memesan 5 ton kopi siap saji dengan harga sekitar Rp450 ribu per kilogram.
Minat juga datang dari negara lain seperti Korea Selatan, Arab Saudi, dan Kolombia.
Meski begitu, Deden mengaku masih kesulitan memenuhi permintaan pasar karena keterbatasan modal dan kapasitas produksi.
“Saat ini kami baru bisa hasilkan sekitar 20 ton per musim panen. Padahal potensi di Kamojang mencapai 1.500 ton ceri kopi per tahun,” ujarnya.
Dukungan dari Pertamina Geothermal Energy
Community Development Officer PGE Area Kamojang, Reyhana Rashellasida, mengatakan, PGE terus mendampingi Deden dan para petani lokal untuk memperluas pasar kopi Canaya.
“Ekspor ke Jerman dan Jepang membuktikan bahwa kopi hasil pengeringan geotermal sudah memenuhi standar internasional,” katanya.
Sebagai bentuk perlindungan inovasi, PT PGE telah memperoleh Sertifikat Paten Sederhana pada tahun 2024 dari Kementerian Hukum dan HAM untuk teknologi pengeringan kopi dengan energi panas bumi tersebut.
Menurut Reyhana, keberhasilan kopi Canaya juga menjadi bukti bahwa pemanfaatan energi panas bumi tak hanya untuk listrik, tetapi juga bisa mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Ini contoh nyata bagaimana energi bersih bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat sekitar,” ujarnya.
Kopi dari Tanah Panas Bumi
Kopi Canaya kini bukan sekadar produk, tetapi simbol inovasi energi hijau dari tanah Jawa Barat. Dari uap panas bumi Kamojang, lahir secangkir kopi yang membawa nama Indonesia ke panggung dunia kopi yang benar-benar belum ada tandingannya.
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini





















