Berita Geotherma – Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, resmi mengumumkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) untuk periode 2025–2034.
Melihat uraiannya, RUPTL 2025–2034 didominasi oleh listrik dari energi baru terbarukan (EBT), termasuk panas bumi. EBT mendapat porsi 70persen dalam RUPTL tersebut.
Bahlil menegaskan, dokumen RUPTL 2025–203 PLN ini menjadi arah pembangunan kelistrikan nasional dalam satu dekade ke depan dan selaras dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) serta Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Lebih jauh, RUPTL ini juga dirancang untuk mendukung target besar Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (27/5), Bahlil menegaskan bahwa meski sejumlah negara mulai keluar dari komitmen Paris Agreement, Indonesia tetap konsisten melanjutkan transisi energi, dengan tetap memperhatikan aspek keekonomian dan ketersediaan energi nasional.
“Komitmen tersebut tercermin dari porsi besar energi baru terbarukan (EBT) dalam RUPTL kali ini, yang mencapai 70 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 gigawatt (GW) hingga 2034,” jelasnya.
Rincian porsi pembangkit dalam RUPTL
Dalam RUPTL 2025–2034 dijelaskan bahwa selama lima tahun pertama, secara keseluruhan akan dibangun 27,9 GW pembangkit. Kapasitas sebesar itu terdiri dari :
- 9,2 GW berbasis gas
- 12,2 GW dari EBT
- 3 GW dari sistem penyimpanan (baterai dan pumped storage)
- 3,5 GW pembangkit batu bara yang konstruksinya sudah berjalan.
Kemudian pada lima tahun kedua, fokus pembangunan semakin bergeser ke EBT dan sistem penyimpanan dengan porsi 37,7 GW dari EBT atau sekitar 90 persen dari total target kapasitas.
Sumber EBT yang dikembangkan meliputi:
- tenaga surya 17,1 GW
- tenaga angin 7,2 GW
- hidro 11,7 GW
- panas bumi 5,2 GW
- bioenergi 0,9 GW
- nuklir 250 MW
Panas bumi, sebagai energi berbasis potensi dalam negeri, mendapat perhatian khusus dengan target yang cukup signifikan. Selain itu, energi baru seperti nuklir juga mulai masuk dalam rencana, dengan pembangunan dua reaktor modular kecil (SMR) berkapasitas masing-masing 250 MW di Sumatera dan Kalimantan.
Untuk mendukung pembangkit berbasis EBT, infrastruktur kelistrikan turut diperkuat. Pemerintah menargetkan pembangunan jaringan transmisi sepanjang hampir 48.000 kilometer sirkuit (kms) dan gardu induk berkapasitas total 108.000 MVA, yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.
Bahlil menekankan pentingnya kesiapan jaringan agar proyek pembangkit EBT tak mengalami kerugian akibat sistem take or pay PLN.
Secara keseluruhan, implementasi RUPTL 2025–2034 membuka peluang investasi hingga Rp2.967,4 triliun. Sekitar 73 persen dari proyek pembangkit akan dikerjakan melalui skema kemitraan dengan pihak swasta (Independent Power Producer/IPP), sementara sisanya ditangani oleh Grup PLN.
Proyeksi ini diperkirakan akan menciptakan lebih dari 1,7 juta lapangan kerja baru di berbagai tahap, mulai dari perencanaan hingga operasional, dengan sektor EBT menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.
Tak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi nasional—yang ditargetkan mencapai 8 persen pada 2029—RUPTL ini juga mencerminkan komitmen pemerataan. Melalui Program Listrik Desa (Lisdes), pemerintah menargetkan elektrifikasi untuk 5.758 desa yang belum berlistrik, dengan pembangunan pembangkit 394 MW dan penyambungan listrik ke sekitar 780 ribu rumah tangga.
“Energi bukan sekadar kebutuhan, tapi juga instrumen keadilan. Ini mandat langsung dari Presiden Prabowo agar seluruh desa, dari Aceh sampai Papua, bisa menikmati listrik 24 jam. Kita akan rampungkan ini secara bertahap hingga 2029,” tegas Bahlil.
Dengan porsi besar pada EBT—termasuk pengembangan panas bumi yang potensinya masih luas di Indonesia—RUPTL PLN 2025–2034 menjadi langkah konkret menuju sistem energi bersih, andal, dan berkelanjutan.***
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini