Berita Geothermal — Sekretaris Jenderal HIPMI yang juga Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Asbebindo), Anggawira, menyerukan agar pemerintah membuka kembali diskusi strategis mengenai pengembangan energi terbarukan di Bali—khususnya energi panas bumi di kawasan Bedugul.
Seruan ini disampaikan Anggawira dalam 10th LNG Summit Bali yang digelar pada 27 Mei 2025 lalu. Menurutnya, Bali sebagai etalase pariwisata dan budaya Indonesia belum memiliki ketahanan energi yang memadai.
“Fenomena blackout selama 12 jam beberapa waktu lalu bukan hanya soal teknis akibat gangguan suplai dari Jawa, tapi juga mencerminkan rapuhnya ketahanan energi dan minimnya kedaulatan energi Bali sebagai sebuah pulau,” ujarnya.
Bedugul: Potensi Terpendam Energi Bersih Bali
Anggawira menyoroti potensi besar yang dimiliki lapangan panas bumi Bedugul. Terletak di dataran tinggi vulkanik kawasan Kaldera Bratan, Bedugul menyimpan cadangan energi yang dinilai cukup besar—mencapai kapasitas hingga 175 megawatt (MW). Rencana pengembangan pun sudah terbagi ke dalam tiga tahap:
- Unit 1: 55 MW
- Unit 2: 55 MW
- Unit 3: 2 × 55 MW
“Dari sisi teknis dan ekonomis, proyek ini sangat layak dikembangkan. Tapi sudah lebih dari dua dekade mandek karena penolakan masyarakat adat yang menilai lokasi proyek berada di kawasan suci dan hutan lindung,” jelasnya.
Pendekatan Baru: Kolaboratif, Inklusif, dan Berbasis Budaya
Anggawira menegaskan, penolakan masyarakat adat terhadap proyek Bedugul bukan semata penolakan terhadap energi terbarukan, melainkan pada pendekatan yang tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak menghormati nilai-nilai budaya Bali.
Ia menawarkan pendekatan baru yang lebih sensitif dan kolaboratif:
- Libatkan tokoh adat, pecalang, dan pemuka agama sejak tahap awal.
- Pastikan lokasi tapping sumber panas bumi berada di luar kawasan suci.
- Gunakan teknologi closed-loop system yang tidak menimbulkan suara, gas buang, atau kerusakan visual terhadap alam sekitar.
- Terapkan benefit-sharing untuk desa adat berupa subsidi listrik, dana sosial, hingga pengembangan UMKM energi.
Bali Butuh Energi Mandiri, Bukan Ketergantungan
Lebih dari 70% kebutuhan listrik Bali saat ini masih dipasok dari Jawa melalui kabel bawah laut. Gangguan teknis di Paiton atau jalur bawah laut di Selat Bali bisa melumpuhkan pasokan listrik di seluruh Bali.
“Kondisi ini menciptakan sindrom ketergantungan energi yang berbahaya, terlebih bagi provinsi yang ingin menjadi pulau hijau, pusat ekonomi pariwisata, wellness, dan digital,” ujar Anggawira.
Ia meyakini bahwa pengembangan energi bersih seperti panas bumi, tenaga surya (solar farm), dan biomassa bisa menjadi daya tarik bagi masuknya investasi hijau (green FDI) ke Bali tanpa mengorbankan nilai spiritual dan keindahan alamnya.
Rekomendasi Strategis
Anggawira mengusulkan lima langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi Bali:
- Evaluasi ulang proyek panas bumi Bedugul dengan melibatkan masyarakat lokal secara aktif.
- Susun peta potensi energi baru terbarukan (EBT) di wilayah Karangasem, Buleleng, dan Klungkung.
- Bentuk satuan tugas energi hijau Bali lintas kementerian dan pemerintah provinsi.
- Dorong insentif fiskal dan nonfiskal untuk investor energi hijau dan pengembang data center.
- Edukasi publik agar Bali tidak hanya dikenal sebagai pulau wisata, tetapi juga pulau yang mandiri secara energi.
Harmoni Energi dan Budaya: Waktunya Memulai
“Bali adalah pulau spiritual dan pulau seni. Tapi Bali juga bisa menjadi pulau energi hijau. Kuncinya adalah memulai dialog baru yang menyatukan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal,” ujar Anggawira.
Menurutnya, transisi energi tidak harus menjadi ancaman bagi budaya, justru bisa menjadi contoh bagaimana keberlanjutan dan nilai-nilai lokal dapat berjalan beriringan.
“Ketahanan energi adalah hak masyarakat Bali. Dan sekarang adalah waktunya untuk mewujudkannya,” tutupnya.***
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini