Berita Geothermal — Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi terbesar kedua di dunia, sekitar 23–29 gigawatt (GW). Namun, kapasitas terpasang baru sekitar 2,7 GW atau tak lebih dari 12 persen dari total potensi. Kesenjangan ini menandakan bahwa pemanfaatan panas bumi masih jauh dari optimal.
Pakar panas bumi Universitas Gadjah Mada, Ir. Pri Utami, M.Sc., Ph.D., menilai keterlambatan pemanfaatan ini tak hanya karena faktor teknis dan biaya eksplorasi, melainkan juga cara pandang.
“Panas bumi bukan komoditas seperti migas atau batubara, melainkan aset energi yang sangat strategis,” tegasnya dikutip dari laman UGM, Sabtu (13/9).
Potensi Besar, Realisasi Terbatas
Pernyataan Pri Utami bahwa panas bumi harus dipandang sebagai aset energi, bukan komoditas, sangat menarik dan banyak hal yang mendasarinya.
Pertama, potensi panas bumi Indonesia sangat melimpah sehingga 40 persen cadangan panas bumi dunia ada di Indonesia. Namun di balik sumbernya yang melimpah, pemanfaatannya baru sekitar 12 persen saja.
Kedua, dibanding sumber energi terbarukan lain, panas bumi memiliki keunggulan utama sebagai base-load energy: bisa memasok listrik stabil sepanjang waktu, tidak bergantung cuaca.
Studi akademik juga menunjukkan keekonomian jangka panjang yang kuat. Dewi et al. (2022) dari Universitas Indonesia menganalisis investasi panas bumi dengan pendekatan real options. Hasilnya, proyek panas bumi bernilai strategis bila dikelola dengan manajemen risiko yang tepat—biaya eksplorasi memang besar, tetapi return jangka panjangnya stabil dan mengurangi ketergantungan pada energi impor.
Melihat panas bumi sebagai aset strategis berarti menempatkannya dalam konteks lebih luas:
• Keamanan energi – Mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan batubara, serta memperkuat ketahanan energi nasional.
• Penghematan devisa – Menurut kajian Bisnis Indonesia (2025), substitusi energi fosil dengan panas bumi berpotensi menghemat devisa hingga Rp100 triliun per tahun.
• Kontribusi iklim – Panas bumi rendah emisi, mendukung target net zero emission Indonesia 2060.
• Dampak sosial-ekonomi – Proyek panas bumi membuka ribuan lapangan kerja lokal, serta peluang usaha jasa pendukung di daerah.
“Pelaksanaan proyek pengembangan panas bumi mulai dari eksplorasi hingga pengembangan lapangan membutuhkan tenaga kerja lokal yang sangat banyak, serta membuka peluang usaha pendukung seperti catering, akomodasi, transportasi, jasa dan lain-lain,” jelas Pri Utami.
Lebih dari itu, Pri menjelaskan, beberapa lapangan panas bumi menghasilkan produk samping berupa mineral yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk—menjadi pintu masuk bagi kontribusi pada ketahanan pangan.
Belajar dari Praktik Global
Negara lain sudah menempatkan panas bumi dalam strategi energi nasional. China, misalnya, melakukan analisis SWOT dan PEST untuk mengintegrasikan panas bumi dalam bauran energi mereka (H. Gong et al., 2021). Dukungan fiskal, insentif regulasi, dan investasi teknologi membuat panas bumi tumbuh pesat.
Kajian global (Islam et al., 2022) juga menegaskan bahwa panas bumi bukan sekadar sumber listrik, melainkan instrumen strategis untuk keamanan energi, pembangunan hijau, dan reputasi internasional melalui investasi ramah lingkungan.
Perubahan Paradigma: Apa yang Diperlukan?
Untuk menjadikan panas bumi sebagai aset strategis energi nasional, ada beberapa langkah kebijakan yang mendesak:
- Skema harga yang adil dan kompetitif – Tarif listrik panas bumi harus mencerminkan keekonomian jangka panjang, bukan hanya perbandingan harga jangka pendek dengan energi fosil.
- Mitigasi risiko eksplorasi – Skema government drilling atau pembiayaan eksplorasi oleh pemerintah perlu diperluas agar investor lebih percaya diri.
- Investasi SDM dan teknologi – Seperti ditegaskan Pri Utami, peningkatan kualitas penelitian geosains, teknologi pengeboran, dan tenaga ahli sangat penting untuk menekan biaya eksplorasi.
- Edukasi publik – Literasi masyarakat tentang manfaat panas bumi perlu diperkuat agar penerimaan sosial proyek lebih baik, sekaligus membedakan panas bumi dari sektor tambang konvensional.
- Integrasi dengan agenda pembangunan nasional – Panas bumi harus ditempatkan dalam kerangka transisi energi, pengurangan emisi, hingga pembangunan ekonomi daerah.
Mengubah cara pandang inilah yang menjadi kunci agar “harta karun hijau” Indonesia benar-benar bisa diolah untuk kepentingan bangsa, bukan hanya dinilai dari kacamata pasar jangka pendek.***
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini