Berita Geothermal — PT Geo Dipa Energi (Persero), satu-satunya BUMN yang bergerak di sektor panas bumi, menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 1 gigawatt (GW) dalam 10 tahun ke depan. Target ambisius ini menjadi bagian dari kontribusi perusahaan dalam mendukung transisi energi bersih nasional.
Direktur Utama Geo Dipa Energi, Yudistian Yunis, mengungkapkan bahwa saat ini Geo Dipa mengelola dua wilayah kerja panas bumi, yaitu PLTP Dieng di Jawa Tengah dan PLTP Patuha di Jawa Barat. Kedua lapangan tersebut menjadi tumpuan utama pengembangan kapasitas.
“Geo Dipa ditugaskan oleh pemerintah untuk menambah kapasitas di Dieng dan Patuha masing-masing sebesar 400 MW. Saat ini kami sedang dalam perjalanan menambah unit di masing-masing lapangan,” ujar Yudistian dikutip dari Youtube Energy Corner CNBC, Sabtu (24/5).
Tak hanya itu, Geo Dipa juga mendapat penugasan baru dari pemerintah untuk mengembangkan pemanfaatan panas bumi di dua wilayah tambahan: Candi Umbul di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah dan Arjuno-Welirang di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Menjawab Tantangan Transisi Energi
Target 1 GW tersebut sejalan dengan Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan yang dicanangkan melalui Peraturan Menteri ESDM No. 10/2025. Salah satu poin utama regulasi ini adalah pengurangan penggunaan PLTU berbahan bakar batubara.
“Saat ini sekitar 70 persen sistem kelistrikan Indonesia masih didominasi pembangkit batubara. Padahal untuk menggantikan batubara sebagai pembangkit baseload, hanya energi panas bumi yang secara karakteristik mampu menyamai,” jelas Yudistian.
Ia menekankan bahwa geothermal harus menjadi ujung tombak pengganti batubara dalam sistem energi nasional, mengingat kemampuannya menyediakan daya secara kontinu (baseload) seperti PLTU.
Mengapa Perlu Waktu 10 Tahun?
Yudistian menjelaskan bahwa pengembangan panas bumi bukan proses singkat. Diperlukan waktu panjang karena banyak tahapan teknis yang harus dilalui, mulai dari eksplorasi hingga konstruksi pembangkit.
“Pertama-tama kita harus memastikan dulu keberadaan dan karakteristik uap di lokasi. Ini sangat menentukan, karena berbeda dengan PLTU yang bisa mengatur uapnya langsung, uap panas bumi bergantung pada lokasi,” jelasnya.
Setelah uap tersedia, tahapan berikutnya adalah desain pembangkit dan pengeboran yang bisa memakan waktu dua hingga tiga tahun. Pembangunan fasilitas pembangkit sendiri memerlukan waktu sekitar 24 hingga 28 bulan. Saat ini, Geo Dipa tengah membangun unit Dieng 2 dan Patuha 2 yang ditargetkan selesai pada akhir 2026 atau paling lambat semester I 2027.
Potensi Besar, Pemanfaatan Masih Minim
Meski Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, pemanfaatannya masih sangat rendah. “Kita baru memanfaatkan sekitar 11 persen dari potensi yang ada,” ujar Yudistian.
Beberapa kendala yang dihadapi di lapangan antara lain terkait penggunaan lahan untuk pengeboran serta tantangan teknologi. Dari total potensi sebesar 24 GW yang dihitung dengan teknologi saat ini, pemanfaatannya bisa jauh lebih besar jika teknologi panas bumi dikembangkan lebih lanjut.
“Negara kita diberkati Tuhan dengan potensi panas bumi yang melimpah. Jika dimanfaatkan secara optimal, kita bisa menuju swasembada energi,” tegasnya.
Panas Bumi dan Masa Depan Energi Indonesia
Dengan ditetapkannya Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disebut-sebut sebagai RUPTL paling hijau sepanjang sejarah, peluang bagi energi terbarukan semakin besar. Geo Dipa memandang hal ini sebagai momentum penting untuk memperkuat peran panas bumi dalam mencapai target emisi net-zero.
“Panas bumi punya tempat strategis di RUPTL yang baru. Tinggal bagaimana kita mengembangkan sisi teknologi, perizinan, dan tata kelola agar lebih efisien dan berdampak,” pungkas Yudistian.***
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp beritageothermal.com klik di sini